Rabu, 09 Februari 2011

Madzhab Syafi'i

1. Biografi Imam Syafi’i Sepanjang Hidupnya.

Imam Syafi’i adalah sosok seseorang yang sangat tangguh dalam berpendirian yang selalu optimis walaupun posisi dari keluarganya yang sangat pas-pasan dan Yatim, beliau bukan keturunan dari seorang Kiyai, beliau berasal dari keturunan Petani keluarga yang sangat primitiv sekali. Namun hal itu tidak menjadikan beliau patah dan kendor semangat, justru sebaliknya.

Nama asli dari beliau adalah Muhammad Ibnu Idris As-Syafi’i Al-Quraisyi, Beliau dilahirkan awal tahun 150 H. dan beliau wafat pada tahun 204 H. beliau hidup didunia kurang lebih selama 54 tahun. Beliau ditinggal bapaknya ketika beliau masih beumur 2 tahun, Bapak beliau bernama Idris, berasal dari daerah Tibalah (sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman), dia seorang yang tidak berpunya, awaalnya dia tinggal di Medinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda disana.

Syafi’ Kakek dari Kakek beliau, yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi’i) menurut sebagian Ulama adalah seorang Sahabat Shigar (Yunior) Nabi. As-Saib, Bapak Syafi’, sendiri termasuk Sahabat Kibar (Senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah SAW. Dia termasuk dalam bagian Tokoh Musyrikin Quraisy dalam perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendirinya dan menyatakan masuk Islam. Para Ahli Sejarah dan para Ulama Nasab serta Ahli Hadits bersepakat bahwa Imam Syafi’i berasal dari keturunan Arab murni.

Setelah 2 tahun kedepan beliau dalam keadaan yatim, hingga beliau dibawa ke kota Mekkah oleh Ibu-Nya. Di kota Mekkah Imam Syafi’i belajar berbagai keilmuuan pengetahuan. Akhirnya beliau belajar Bahasa Arob kepada Huzail di Desa terpencil. Setelah beliau mahir dalam berbahasa Arob, maka beliau belajar Hadits dan Fiqih seenak-enaknya, karena dengan berbahasa Arob itu mudal awal bagi beliau untuk mendalami berbagai keilmuan masa itu.

Imam Syafi’i di masa kecilnya sudah hafal Al-Qur’an, di waktu masa janinnya beliau sudah bisa ngomong dan bisa mgarang Kitab “Al-Umm”. Beliau benar-benar luar biasa, Allah SWT sudah mentakdirkan menjadikau beliau sosok yang luar biasa diluar batas kemampuan manusia. beliau hidup dalam keadaan miskin sekeluarga, beliau benar-benar gigih dalam menuntut ilmu Al-Qur’an dan Hadits, beliau banyak belajar kepada para Ulama di Mekah pada usianya yang masih kecil.

Kemudian beliau hafalkan kitab Muwattha’, karangan Imam Malik. lalu belajar kepada Imam Malik sendiri di Medinah, memperdalam paham beliau tentang apa yang tersebut didalam kitab Muwattha’. Sampai Imam Malik meninggal dunia, Imam Syafi’i selalu ada disampingnya belajar dan belajar. setelah Imam Malik meninggal dunia, namun Imam Syafi’i tetap tinggal di Medinah menggantikan posisi Imam Malik beberapa bulan lamanya. kemudian beliau keluar dari Medinah menuju ke Yaman, terus pada tahun 195 beliau pergi ke Bagdad, disana beliau tinggal selama 2 tahun. Lalu beliau tahun 199 pindah ke Mesir, di sana beliau menetap sampai wafat.

Sejalan dengan waktu Imam Syafi’i mendatangi kota Iraq bertujuan memperdalam Ilmu Fiqih. Disana beliau belajar Ilmu Fiqih kepada muridnya Imam Abu Hanifah yang bernama Muhammad Ibnul Hasan. Karena pengetahuan Fiqih di Iraq adalah Imam Abu Hanifah. Maka dengan begitu terhimpunlah ilmu pengetahuan dalam diri Imam Syafi’i pengetahuan Ahlur Ra’yi (Menetapkan Hukum Fiqih dengan Akal dan Rasio) dan pengetahuan Ahlul Hadits (Menetapkan hukum berdasarkan Sunnah, yaitu Al-Qur’an dan Hadits). Dalam diri beliau benar-benar terhimpun berbagai ilmu pengetahuan dengan sempurna.

Imam Syafi’i telah menguasai ilmu keduanya, maka beliau berhasil disamping memberikan Fatwa-fatwa tentang Hukum Fiqih sebagai Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Juga berhasil menetapkan Kaidah-kaidah yang menjadi dasar penetapan Hukum dari Dalil-dalil yang ada dengan menentukan syarat-syarat dari apa yang dapat disamakan dalam memakai Qias, dan apa-apa yang dianggap bertentangan tentang beberapa perkara yang dihadapi dan harus diselesaikan yang harus ditetapkan hukumnya. karena itulah Imam Syafi’i mendapat perhatian yang besar sekali dari pihak-pihak yang sesuai dengan pendapat-pandapat-Nya, sebab itulah nama beliau sangat terkenal/terkemuka dan mulya, dan kedudukan beliau menjadi sangat mulya dan begitu tinggi dalam pandangan ummat Islam.

“Al-Risalah” adalah Kitab hasil dari karangan beliau yang begitu sangat terkenal, Kitab itulah Kitab pertama ilmu Ushul Fiqih (Pengetahuan tenatng cara-cara menetapkan Ilmu Fiqih). Kaidah-kaidah yang ditetapkan beliaulah dalam kitabnya dengan nama Al-Risalah yang menjadi pegangan atau pedoman bagi Ulama dan Imam Madzhab yang datang kemudian dalam menetapkan hukum dari Dalil-dalil yang ada pada masing-masing mereka.

Berkata Ar-Razi : ketaahuilah bahwa kedudukan (Martabat) Imam Syafi’i dalam ilmu Ushul Fiqih sama dengan kedudukan (martabat ) Aristatoles dalam ilmu Mantiq (Ilmu Logika) , sama pula dengan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad tentang Ilmu Aruud (Ilmu tentang Syair). Dikatakan begitu, karena orang-orang sebelum Aristatoles selalu dalam perdebatan hanya dalam mengemukakan dalil-dalil yang merupakan Tabi’at-tabi’at yang waras belaka, sedang menurut Aristatoles selalu berdasarkan aturan-aturan yang mengatur tata tertib untuk menentukan batas-batas (Difisi) dan keterangan-keterangan, sehingga perdebatan terhindar dari hiruk pikuk atau kekacau-balau yang tidak karuan. Aristatoles sudah berhasil menciptakan Ilmu Mantiq itu setelah mengasingkan diri dari Masyarakat ramai beberapa lamanya.

Begitu juga Syair-Syair sebelum Al-Khalil Ibnu Ahmad menyusun syair dan Nazam atau pantun hanya berdasarkan Tabi’at (Perasaan) semata-mata. Tapi setelah Al-Khalil, semua Syair dan Nazam harus sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan Al-Khalil dalam ilmu Aruudh. Dan dengan undang-undang (Kaidah-kaidah) ilmu Aruudh itu orang dengan mudah dapat menentukan mana Syair yang baik dan mana pula yang tidak baik, dan orang dapat mengetahui kelebihan (Kebaikan) dari pada Syair dan juga akan cacat-cacat dari Syair yang tidak baik itu.

Begitu seterusnya, para Imam dan Ulama sebelum Imam Syafi’i berkata dan berfatwa tenteng masalah-masalah Fiqh dengan Dalil-dalil yang perdebatan-perdepatan yang terus menerus, karena belum ada ketiak itu satu undang-undang (kaidah-kaidah) yang mengatur cara pemakaian dalil-dalil Syri’at (Sunnah), atau aturan-aturan cara menguatkan atau menentang Dalil-dalil yang dikemukakan oleh seseorang. Imam Syafi’ilah orang yang pertama yang mula-mula menetapkan aturan-aturan (Kaidah-kaidah) itu. Sehingga dengan aturan-aturan (Kaidah Ilmu Ushul Fiqh) itu orang dengan mudah dapat mengetahui tingkat masing-masing Dalil Ilmu Fiqh

2. Jalannya Imam Syafi’i Ketika Menuntut Ilmu Pengetahuan.

Imam Syafi’i menimbun ilmu berdasarkan tempat awal beliau menetap yaitu di Kota Mekkah. Beliau menuntut ilmu tanpa mengeluh dan putus asa, walaupun beliau dalam keadaan Yatim, beliau awal balajar mulai dari belajar Bahas Arob. beliau belajar Bahasa Arob kepada Huzail di desa terpencil. Setelah beliau mahir dalam berbahasa Arob, maka beliau belajar Hadits dan Fiqih.

Beliau hafalkan Kitab Muwattha’, karangan Imam Malik dengan baik dan teliti. Lalu beliau meneruskan belajarnya belajar kepada Imam Malik sendiri di Medinah, dan memperdalam paham beliau tentang apa yang tersebut di dalam Kitab Muwattha’. Hingga dari kesunguh-sungguhannya Imam Syafi’i, beliau belajar Kitab Muwattha’ sampai Imam Malik meninggal dunia. Imam Syafi’i bener-bener tinggi dalam Antusias/keinginannya untuk belajar dan belajar, hingga beliau selalu ada disampingnya belajar kepada Imam Malik sampai meninggal dunia. Setelah Imam Malik meninggal dunia Imam Syafi’i tetap tinggal di Medinah, beliau menggantikan posisi Imam Malik beberapa bulan lamanya di Medinah.

Beliau mendatangi Kota Iraq bertujuan untuk memperdalam Ilmu Fiqih. Disana beliau belajar Fiqih kepada muridnya Imam Abu Hanifah yang bernama Muhammad Ibnul Hasan. Karena pengetahuan Fiqih terbesar di Iraq waktu itu adalah Imam Abu Hanifah. Maka dengan begitu terhimpunlah ilmu pengetahuan dalam diri Imam Syafi’I, pengetahuan Ahlur Ra’yi (menetapkan Hukum Fiqih dengan Akal dan Rasio) dan pengetahuan Ahlul Hadits (menetapkan Hukum berdasarkan Sunnah, yaitu Al-Qur’an dan Hadits).
Dalam diri beliau benar-benar terhimpun berbagai ilmu pengetahuan dengan sempurna. Hingga beliau terkenal dan terkemuka di dunia Islam. Beliau mempelajari ilmu tidak tanggung-tanggung. Ketika beliau terjun dalam dunia pengetahuan baik Logika ataupun Al-Qur’an dan Al-Hadits. Beliau selipkan waktunya hanya untuk menuntut ilmu sepanjang hidupnya, yang akhirnya beliau terkenal dan terkemuka dalam dunia Islam mulai sejak menetap di Mesir, karena beliau sudah mahir dalam ilmu Ahlur Ra’yi dan ilmu Ahlul Hadits.

3. Cara-Cara Ijtihad Imam Syafi’i.
Imam Syafi’I pernah berkata tentang cara beliau ber-Ijtihad, “Pokok pertama ialah Al-Qur’an dan Hadits” kalau tidak ada, barulah dipergunakan Qias dengan apa yang ada dalam Al-Qur’aan dan Al- Hadits (Sunnah). Bila Hadits mempunyai Sanad yang tidak putus-putus, dan semuanya sah, itu adalah Sunnah. Kabar dari orang banyak adalah lebih utama dari pada kabar dari per-individu. Bila terdapat Hadits yang bertentangan, Hadits yang paling baik sanadnya yang didahulukan.

Diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu murid beliau sendiri Ar-Rabi’ul Murady yang berisi ajaran dan fatwa-fatwa Imam Syafi’i, Kitab itu sangat termasyhur dan terkenal diberbagai penjuru, yang bernama Al-Umm. sebuh Kitab besar yang terdiri dari 7 Jilid tebal, yang amat teratur, dimasing-masing bab membahas masalah-masalah tertentu dalam Ilmu Fiqih. Madzhab Imam Syafi’i telah dikenal oleh umumnya terdiri dari 2 macam Fatwa, yaitu Madzhab Qodim dan Madzhab Jadid. Madzhab Qodim memuat semua fatwa beliau baik yang tertulis ataupun yang terucapkan selama di Iraq. Sedangkan Madzhab Jadid berisikan semua fatwa-fatwa yang beliau tulis atau yang beliau fatwakan dengan Lisan selama beliau tinggal di Mesir.

Ternyata setelah beliau tinggal di Mesir beliau banyak mendengar Hadits-Hadits yang belum pernah beliau dengar dan diketahui selama di Iraq. Sehingga berubahlah Fatwa beliau dari apa-apa yang pernaah beliau Fatwakan sebelum tinggal di Mesir. Dan tidak sedikit pula pengaruh Ulama-Ulama Mesir, pengaruh keadaan Masyarakat Mesir yang berlainan dengan keadaan di Iraq dan Hijaz.

4. Wafatnya Imam Syafi’i
Beliau menata kesibukannya sepanjang hidupnya. Yang ada dalam aktifitasnya hanyalah menuntut ilmu dan dakwah. Beliau menyibukkan diri berdakwah, karena kesibukannya berdakwah dan menebar atau mengamalkan Ilmu, beliau menderita penyakit Bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Semakin lama penyakit yang dialaminya semakin parah, Hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jum’at setelah Shalat Isya’ hari terakhir Bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah SWT memberikan rahmat-Nya yang luas.

Ar-Rabi menyampaikan bahwa Dia bermimpi melihat Imam Syafi’i, Sesudah wafatnya, Dia berkata kepada beliau ”Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah……?” beliau menjawab “ Allah mendudukkan aku diatas sebuah Kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.” Betapa mulyanya kedudukan beliau hingga Allah SWT memberikan sesuatu yang sangat berharga yang tidak bisa di tukar dengan suatu barang yang berharga apapun.

Tidak ada komentar: