Selasa, 27 April 2010

MAKANAN HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Yang melatar belakangi kami menyusun makalah ini adalah banyak persoalan halal-haram belakangan ini menghangat kembali. Tak bisa disangkal, makanan halal merupakan masalah yang peka bagi kaum muslimin, di mana pun. Pada tahun 1988, sempat muncul isu tentang makanan haram dan terjadi polemik ramai. Ini berkaitan dengan temuan Ir. Tri Susanto dari Unbraw, Malang, tentang sejumlah produk yang dijual ke masyarakat yang ternyata mengandung lemak babi. Dari peristiwa itu, akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik (LP POM-MUI) sebuah lembaga yang meneliti ada-tidaknya kandungan zat yang haram pada makanan atau minuman tertentu keluaran pabrik. Persoalan yang berkembang akhir-akhir ini, bukan masalah substansi halal-haram. Lahirnya UU Pangan 1996 yang menjadi pemicunya. Dalam pasal tentang label dan iklan disebutkan bahwa produsen wajib mencantumkan label halal. Perkembangan lain, yakni adanya rencana labelisasi halal, di mana setiap bungkus kemasan produk dikenai biaya Rp 10. Masalah ini cukup mengundang perhatian masyarakat.
Berkaitan dengan itu, TIRAS ''mengkaji'' masalah yang kini menjadi perdebatan hangat itu kepada Prof. K.H. Ibrahim Hosen, L.M.L. pakar fiqh, yang kini menjabat sebagai Rektor Institut Ilmu Alquran, Jakarta, dan sekaligus menjabat sebagai ketua Komisi Fatwa MUI Pusat. Namun, Ibrahim Hosen hanya memberi peluang untuk bertanya masalah fiqh yang berkaitan dengan soal halal. ''Saya tidak ingin bicara policy mengenai hukum dari produk yang dilabel. Saya tidak layak bicara itu, karena saya tidak mengikuti dan bukan bidang saya,'' katanya.

Ibrahim Hosen, yang lahir di Bengkulu 1 Januari 1917, memang dikenal sebagai seorang ahli fiqh. Dia pernah melontarkan pendapat yang dianggap kontroversial bahwa permainan Porkas yang digemari masyarakat dekade 80-an adalah kegiatan yang halal. Padahal para ulama saat itu sebagian besar berpendapat bahwa Porkas jelas judi dan karenanya haram. Namun Ibrahim tidak mundur dengan pendapatnya. Ia menyelesaikan pendidikan tingginya di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir (1960). Karena kepakarannya, Ibrahim Hosen diangkat sebagai guru besar Fakultas Syariah IAIN Jakarta (1979), kemudian sebagai ketua Komisi Fatwa MUI Pusat. Berikut penuturannya tentang tema halal kepada Masduki Baidlawi, Joko Supono, Anang Aenal Yaqin, dan Syahdan Nurdin dari TIRAS. Dengan munculnya sertifikasi halal, debat halal-haram menjadi polemik kembali. Apa yang melatarbelakangi perdebatan itu.
Dalam konteks Indonesia, karena mayoritas penduduknya adalah umat Islam. Umat Islam diperintahkan dan wajib memakan makanan yang halal. Jadi diperintahkan untuk berusaha mencari makanan yang halal. Alquran menjelaskan: ''Hai manusia makanlah yang halal dan baik apa yang ada di bumi. Janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya dia itu musuh yang nyata. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan tentang Allah apa yang kamu tidak ketahui.'' (Albaqarah: 168, 169)

Di sini ada perintah dan larangan. Perintahnya, makan yang halal dan baik serta larangannya, yaitu mengikuti langkah syaitan, karena syaitan membawa kita kepada yang haram. Jadi, siapa yang tidak suka dengan yang halal adalah musuh kita, yaitu syaitan. Dalam ayat ini, Allah mengatakan ini halal, sedang syaitan bilang ini haram. Ini masalah pokok. Ayat lain yang mengatur makanan halal?
Kita lihat kembali Alquran. ''Dan makanlah makanan yang halal dan baik dari apa yang Allah rezekikan kepadamu. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu beriman.''(Almaidah: 88). Ayat ini juga sebagai landasan pokok terhadap makan makanan yang halal bagi seorang yang bertakwa kepada Allah. Juga bisa dilihat surat Annahl ayat 114, ''Maka makanlah apa yang Allah telah rezekikan kepadamu yang halal dan baik, dan bersyukurlah atas nikmat Allah jika kamu beribadah kepada-Nya.'' Jadi, adalah wajib bagi umat Islam untuk mencari dan makan yang halal. Apa yang bisa ditafsirkan lebih jauh dari perintah makan-makanan yang halal itu?
Inti agama kita adalah bersyukur. Dalam konteks ini, dalam hal makanan yang telah Allah rezekikan kepada kita. Jadi, kita hidup itu harus bersyukur kepada yang berjasa, misalnya orang tua, guru dan di antara yang paling berjasa kepada kita adalah Allah. Jadi, kita harus bersyukur kepada-Nya, di antarannya dalam konteks ini makanlah makanan yang halal. Perintah ini bukan main-main, jika kita memang orang beriman.

Adanya rencana label halal, apakah justru tidak akan mempersulit umat? Ayatnya sudah dibacakan. Hukumnya makan yang halal adalah suatu kewajiban. Maksudnya, ketika halal itu disosialisasikan dengan label, bisa menimbulkan berbagai kepentingan dari banyak pihak? Label itu tanda, sebelum ada label kita belum tahu barang ini halal atau haram. Untuk memperjelas status barang itu, diperlukan tanda yang menjelaskan barang itu, yaitu dengan label halal. Label halal ini digunakan untuk keperluan masyarakat umum. Jadi, MUI mengadakan label halal terhadap suatu produk karena untuk kepentingan masyarakat umum yang mayoritasnya umat Islam. Oleh karena itu kita sangat perlu untuk mempelajari fiqih baik yang berkenaan dengan ibadah ataupun aktifitas kehidupan sehari-hari. Karena kehidupan kita sehari-hari tidak lepas dari hukum Islam.

Oleh karena itu memang patut difahami bagi ummat Islam tentang keilmuan/pengetahuan Fiqih, yang menjelaskan tentang hukum Syar’i, baik yang terkait dengan ibadah ataupun mu’amalat lainnya (aktifitas hidup sehari-hari). Sangat Na’if sekali apabila ummat Muhammad SAW tidak bisa atau tidak mengetahui/paham tatanan dalam hukum-hukum Syar’i, terutama di bidang ibadah sehari-hari. Ummat Islam pada zaman moderenisasi ini sangatlah banyak permasalahan-permasalahan tentang khidupan sehari-hari yang bermasalah dengan ibadah ataupun amalan-amalan yang lainnya.


PEMBAHASAN

A. Pengertian Halal dan Haram

Halal adalah suatu pekerjaan atau suatu jenis dari segala sesuatu yang dibolehkan untuk dikerjakan atau untuk dikonsumsi, dan didalamnya tidak mengandung unsur riba dan haram, dan cara mendapatkannya secara halal dijalan Allah Swt.
Haram adalah suatu pekerjaan atau suatu jenis dari segala sesuatu yang di larang (tidak dibolehkan) untuk dikerjakan atau untuk dikonsumsi, dan didalamnya biasanya mengandung unsur riba dan haram, dan cara mendapatkannya secara diluar syari’at Islam.

B. Jenis-jenis Binatang Dan Makanan Yang Diharamkan dalam Islam
Banyak berbagai hewan yang hidup dimuka bumi ini, sebagian dijadikan sebagai alat transportasi oleh manusia. Dan sebagian dijadikan bahan konsumsi, namun tidak semua hewan bisa dimakan. Kadangkala hewan yang bisa dimakan, bisa brubah hukumnya menjadi haram dimakan. karena ada sebab-musababnya yang merubah kedudukan hewan tersebut, kecuali belalalang dan ikan. Dan bermacam-macam makanan yang semuanya merupakan bahan konsumsi manusia, Namun disisi lain tidak semua makanan bisa dimakan dengan halal, karena ada sebab-musababnya yang merubah kedudukan makanan tersebut.
Benarkah katak halal dimakan? Sedangkan Rasulullah s.a.w. sendiri melarang membunuhnya? Dalam al-Quran disebut hanya babi saja yang haram dimakan. Sedangkan semua hewan lain halal dimakan belaka kecuali jika merupakan .

1. Bangkai
2. Darah yang mengalir
3. Binatang yang disembelih bukan karena Allah
4. Binatang yang mati karena dicekik atau tercekik
5. Binatang yang mati karena dipukul
6. Binatang yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi
7. Binatang yang mati karena ditanduk ketika berlaga dan
8. Binatang yang mati dimakan binatang buas.
Semua hukum tersebut disebut dengan jelas dalam dua ayat ini. Dalam ayat pertama Allah berfirman: Al-maidah ayat 3.

Artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini[397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[394] Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam ayat 145.

[395] Maksudnya Ialah: binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati.

[396] Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan Apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing Yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.

[397] Yang dimaksud dengan hari Ialah: masa, Yaitu: masa haji wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w.

[398] Maksudnya: dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini jika terpaksa.

Begitu juga ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang memakan binatang disembelih tanpa menyebut nama allah dan juga karena terpaksa, dijelaskan dalam surat Annahl ayat 115 sebagai berikut:

Atinya:

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi Barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak Menganiaya dan tidak pula melampaui batas, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Begitu juga dalam ayat al-qur’an surat Al-an’am ayat 119 dijelaskan sebagai berikut:

Artinya:

Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.

Begitu juga ada makanan yang diharamkan dikarenakan kotor dan menjijikkan dan juga membahayakan bagi kesehatan, yang dijelaskan dalam al-qur’an surat Al-an’am ayat 145 sebagai berikut:

Artinya:

Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Semua hukum yang disebut dalam ayat al-Quran di atas tidak disebut bahwa katak haram dimakan. Jika meneliti nas dan dalil dari hadis pula tentang hukum makan katak didapati bahwa Rasulullah tidak pernah memperuntukkan hukum yang jelas tentangnya. Sebaliknya yang ada ialah hadis yang memperuntukkan hukum larangan membunuh katak.

Dalam salah sebuah hadis itu disebutkan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Abdur Rahman bin Abdul Wahhab, mereka berdua telah berkata telah memberitahu kepada kami Abu Aamir al-Aqdi telah memberitahu kepada kami Ibrahim bin al-Faqhl daripada Said bin al-Maqburi daripada Abu Hurairah katanya bahwa Rasulullah telah menegah daripada membunuh surah (sejenis burung), katak, semut dan pelatuk. (Riwayat Ibn Majah)

Dalam hadis yang lain disebutkan: Telah berkata telah memberitahu kepada kami daripada Ibn Abu Zib dan Yazid telah berkata telah memberitahu kepada kami Ibn Abu Zib dari Said bin al-Musaiyyib dari Abdul Rahman bin Uthman telah berkata telah menyebut seorang ahli perubatan berada di sisi Rasulullah dan dia telah menyebut katak akan dijadikan ubat, maka Rasulullah melarang membunuhnya. (Riwayat Ahmad)
Dalam sebuah hadis lagi disebutkan: Telah memberitahu kepada kami Ubaidullah bin Abdul Majid telah memberitahu kepada kami Ibn Abu Zib dari Said bin Khali dal-Qarizi dari Said bin al-Musaiyyib dari Abdul Rahman bin Uthman bahwa Rasulullah telah melarang membunuh katak. (Riwayat an-Nasai)
Ada juga beberapa hadis yang menyebut bahwa suara katak pada musim hujan merupakan tasbih kepada Allah. Berdasarkan hadis-hadis itu menyebabkan setengah ulama termasuk Imam asy-Syafie berijtihad dan menganggap bahwa karena Rasulullah melarang membunuh katak, maka hukum makannya pun dianggap haram.

Bagaimanapun, ketiga-tiga hadis melarang membunuh katak serta beberapa hadis yang menyebut bahwa katak itu sebagai tasbih kepada Allah adalah hadis yang lemah disebabkan terdapat dasar-dasar yang lemah dan tidak boleh dipercayai. Dalam hadis pertama sebagai contoh terdapat Ibrahim bin al-Fadhl yang disifat oleh Ibn Hanbal sebagai daif dan an-Nasai pula menganggap dasar itu bukan thiqah (tidak boleh dipercayai).

Pandangan ulama:

Ada beberapa ulama mengkategorikan katak seperti ikan dan hewan-hewan yang tinggal dalam air.
Mengenai kategori ini ada nas yang umum daripada ayat al-Quran dan hadis ditafsirkan (bukan secara terang-terang dan muktamad) bahwa semua hewan yang tinggal dalam air adalah harus dimakan.
Nas yang umum daripada al-Quran itu bermaksud: Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut, dan makanan yang didapati dari laut, sebagai bekal bagi kamu (untuk dinikmati kelazatannya) dan juga bagi orang-orang yang dalam pelayaran; tetapi diharamkan atas kamu memburu binatang buruan darat selama kamu sedang berihram. Oleh itu, bertakwalah kepada Allah, yang kepada-Nya kamu akan dihimpunkan. (Al-Maidah: 96)
Nas yang umum daripada hadis pula seperti hadis riwayat Imam Ahmad, At-Tarmizi, Imam Malik, ad-Darimi dan lain-lain yang bermaksud: Ia (laut) bersih airnya dan halal bangkainya.

Berdasarkan nas daripada al-Quran dan hadis yang umum ini serta hukum yang diambil daripada kaedah syariah asal setiap sesuatu itu harus, maka dapat dikatakan semua hewan yang tinggal dalam air harus dimakan termasuk katak. Bagaimanapun, hukum halal ijtihad seperti ini adalah terserah kepada adat dan pertimbangan kita masing-masing. Jika ada orang dalam keadaan terdesak, bukan saja katak tetapi buaya pun boleh dia makan.

Sementara itu ada beberapa ulama mengkategorikan katak dari golongan hewan dua alam. Hewan jenis dua alam ini dianggap haram dimakan oleh beberapa ulama dan hukum ijtihad ini jika dilaksanakan sepenuhnya, maka beberapa jenis ketam, siput dan kerang tidak boleh dimakan.
Dalam penelitian penulis didapati hukum haram dimakan hewan dua alam tidak ada dalam al-Quran dan hadis, tetapi ia merupakan hukum ijtihad beberapa ulama berdasarkan adat tempat dan persekitaran yang mereka tinggal.
Secara umumnya mayoritas (jumhur) ulama menganggap semua hewan laut (air), sama ada ikan dan binatang-binatang lain harus dimakan. Hukum mayoritas ulama ini berdasarkan ayat 96 daripada surah al-Maidah dan hadis yang menyebut bahwa bangkai laut adalah halal seperti tersebut di atas.

Bagaimanapun, beberapa mazhab seperti mazhab Syafie dan mazhab Hambali berbeda dengan mayoritas ulama karena mereka menganggap katak haram dimakan disebabkan ada hadis-hadis yang melarang membunuhnya, tetapi seperti telah disebut di atas bahwa kedudukan semua hadis yang melarang membunuh katak itu adalah tidak kuat belaka.
Agak perlu disebut juga nukilan Imam al-Bukhari berhubung hukum makan katak ini. Imam al-Bukhari dalam kitab sahihnya ketika mengurai ayat 96 daripada surah al-Maidah itu menyebut bahwa asy-Syabi (Aamir bin Syarahil) berkata: Jika ahli keluargaku makan katak, niscaya aku memberi mereka makannya. Pada waktu yang sama al-Bukhari juga menyebut bahwa al-Hassan (al-Hassan bin Abi al-Hassan Yassar al-Basri) menganggap tidak mengapa jika ada orang mahu makan kura-kura.

Berikut secara ringkasnya disebut pandangan mazhab mengenai hukum makan katak ini.

1. Mazhab Syafi'i:
Ulama-ulama mazhab Syafie berpendapat katak tidak harus dimakan karena selain berdasarkan hadis-hadis yang disebut di atas, katak juga tergolong kategori khaba’ith, iaitu binatang yang kotor, keji, buruk dan tidak baik. Pendapat mazhab Syafie ini memang sesuai dengan kebanyakan adat bangsa di dunia ini termasuk orang Melayu yang penulis percaya jarang ada yang tertarik untuk makan katak terutama katak puru.

2. Mazhab Hanafi:
Mazhab Hanafi berpendapat hanya ikan saja yang halal dimakan dari semua jenis hewan yang tinggal dalam air. Katak, kura-kura, anjing laut, buaya dan sebagainya haram dimakan.

3. Mazhab Maliki:
Mazhab Maliki berpendapat bahwa katak sama seperti udang, ketam, kura-kura dan sebagainya boleh dimakan. Mereka berpendapat begitu karena tidak ada nas dan dalil yang jelas daripada al-Quran dan hadis yang mengharamkan makan katak.
Perlu diterangkan bahwa setahu penulis tidak ada orang bermazhab Maliki yang makan katak, kura-kura dan sebagainya.

4. Mazhab Hambali:
Para ulama mazhab Hambali pula berpendapat bahwa katak dan semua hewan yang hidup di dua alam tidak halal dimakan kecuali jika ada jalan sembelihannya.
Bagaimanapun, dikecualikan jika hewan yang hidup di dua alam itu tidak berdarah seperti ketam dan beberapa serangga. Tetapi katak dan kura-kura yang tergolong daripada hewan yang hidup di dua alam yang berdarah, macam mana boleh disembelih? Katak yang tidak mempunyai leher dan kura-kura pula menyembunyikan lehernya dalam perisainya menyusahkan untuk disembelih. Apakah itu menjadi antara punca menyebabkan katak haram dimakan? Penulis tidak pasti.
Hewan yang hidup di dua alam yang lain seperti udang, ketam dan sebagainya walaupun tidak disembelih tetapi halal dimakan pada mazhab Hambali karena tidak berdarah.

Begitulah kedudukan hukum makan katak dalam al-Quran, hadis dan fikah (ijtihad) para ulama mazhab.

Begitu juga terdapat hal yang diharamkan dalam islam terkait dengan minuman yang sangat dibenci dalam islam yang dijelaskan dalam al-qur’an surat Al-baqoroh ayat 219 sebagai berikut:

Artinya:

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,

[136] Segala minuman yang memabukkan.

Makanan dan minuman yang ada dimuka bumi ini masih yang lainnya tentang makanan dan minuman yang halal dan haram baik dari segi proses mendapatkannya ataupun jenisnya.


C. Jenis-jenis Binatang Dan Makanan Yang Halal dalam Islam
Banyak berbagai makanan yang halal dalam islam, baik makanan yang dihasilkan dari tumbuhan ataupun dari hasil ternakan (hewan), namun semuanya itu tergantung dari pendapatannya ataupun pemeliharaanya.
Salah satu dihalalkannya binatang darat adalah hewan tersebut telah disembelih dengan cara syar’i. Jika tidak disembelih sebagaimana yang diajarkan oleh syari’ah, maka hewan tersebut haram dimakan, karena statusnya sama dengan bangkai. Karena itu, uraian tentang penyembelihan harus diketahui dan merupakan bahsan yang sangat penting bagi kita.
Dalam al-qur’an telah dijelaskan oleh allah swt, dalam surat al-baqarah ayat 168 sebagai berikut:

Artinya:
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Dari ayat tersebut diserukan oleh allah swt, bahwasanya kita harus benar-benar mengkonsumsi makanan yang baik lagi halal. Dari itu allah juga berfirman dalam al-qur’an surat albaqorah ayat 172 sebgai berikut:

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.

1. Menyembelih Sebagai Syarat Halalnya Binatang
Binatang-binatang darat yang halal dimakan itu ada dua macam:

A. Binatang-binatang tersebut mungkin untuk ditangkap, seperti unta, sapi, kambing dan binatang-binatang jinak lainnya, misalnya binatang-binatang peliharaan dan burung-burung yang dipelihara di rumah-rumah.

B. Binatang-binatang yang tidak dapat ditangkap.
Untuk binatang-binatang yang mungkin ditangkap seperti tersebut di atas, supaya dapat dimakan, Islam memberikan persyaratan harus disembelih menurut aturan syara'.

2. Syarat-Syarat Penyembelihan Menurut Syara'
Penyembelihan menurut syara' yang dimaksud, hanya bisa sempurna jika terpenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:

A. Binatang tersebut harus disembelih atau ditusuk (nahr) dengan suatu alat yang tajam yang dapat mengalirkan darah dan mencabut nyawa binatang tersebut, baik alat itu berupa batu ataupun kayu.
'Adi bin Hatim ath-Thai pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w.: "Ya Rasulullah! Kami berburu dan menangkap seekor binatang, tetapi waktu itu kami tidak mempunyai pisau, hanya batu tajam dan belahan tongkat yang kami miliki, dapatkah itu kami pakai untuk menyembelih?" Maka jawab Nabi:
"Alirkanlah darahnya dengan apa saja yang kamu suka, dan sebutlah nama Allah atasnya." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Nasal, Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban)

B. Penyembelihan atau penusukan (nahr) itu harus dilakukan di leher binatang tersebut, yaitu: bahwa kematian binatang tersebut justru sebagai akibat dari terputusnya urat nadi atau kerongkongannya.
Penyembelihan yang paling sempurna, yaitu terputusnya kerongkongan, tenggorokan dan urat nadi.
Persyaratan ini dapat gugur apabila penyembelihan itu ternyata tidak dapat dilakukan pada tempatnya yang khas, misalnya karena binatang tersebut jatuh dalam sumur, sedang kepalanya berada di bawah yang tidak mungkin lehernya itu dapat dipotong; atau karena binatang tersebut menentang sifat kejinakannya. Waktu itu boleh diperlakukan seperti buronan, yang cukup dilukai dengan alat yang tajam di bagian manapun yang mungkin.
Raafi' bin Khadij menceriterakan:
"Kami pernah bersama Nabi dalam suatu bepergian, kemudian ada seekor unta milik orang kampung melarikan diri, sedang mereka tidak mempunyai kuda, untuk mengejar, maka ada seorang laki-laki yang melemparnya dengan panah. Kemudian bersabdalah Nabi: 'Binatang ini mempunyai sifat primitif seperti primitifnya binatang biadab (liar), oleh karena itu apa saja yang dapat dikerjakan, kerjakanlah; begitulah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

C. Tidak disebut selain asma' Allah; dan ini sudah disepakati oleh semua ulama. Sebab orang-orang jahiliah bertaqarrub kepada Tuhan dan berhalanya dengan cara menyembelih binatang, yang ada kalanya mereka sebut berhala-berhala itu ketika menyembelih, dan ada kalanya penyembelihannya itu diperuntukkan kepada sesuatu berhala tertentu. Untuk itulah maka al-Quran melarangnya, yaitu sebagaimana disebutkan dalam firmannya:
"Dan binatang yang disembelih karena selain Allah ... dan binatang yang disembelih untuk berhala." (al-Maidah: 3)

D. Harus disebutnya nama Allah (membaca bismillah) ketika menyembelih. Ini menurut zahir nas al-Quran yang mengatakan:
"Makanlah dari apa-apa yang disebut asma' Allah atasnya, jika kamu benar-benar beriman kepada ayat-ayatNya." (al-An'am: 118)
"Dan janganlah kamu makan dari apa-apa yang tidak disebut asma' Allah atasnya, karena sesungguhnya dia itu suatu kedurhakaan." (al-An'am: 121)
Dan sabda Rasulullah s.a.w.:
"Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebut asma' Allah atasnya, maka makanlah dia." (Riwayat Bukhari)
Di antara yang memperkuat persyaratan ini, ialah beberapa hadis shahih yang mengharuskan menyebut asma' Allah ketika melepaskan panah atau anjing berburu, sebagaimana akan diterangkan nanti.
Sementara ulama ada juga yang berpendapat, bahwa menyebut asma' Allah itu sudah menjadi suatu keharusan, akan tetapi tidak harus ketika menyembelihnya itu. Bisa juga dilakukan ketika makan. Sebab kalau ketika makan itu telah disebutnya asma' Allah bukanlah berarti dia makan sesuatu yang disembelih dengan tidak disebut asma' Allah. Karena sesuai dengan ceritera Aisyah, bahwa ada beberapa orang yang baru masuk Islam menanyakan kepada
Rasulullah:
"Sesungguhnya suatu kaum memberi kami daging, tetapi kami tidak tahu apakah mereka itu menyebut asma' Allah atau tidak? Dan apakah kami boleh makan daripadanya atau tidak? Maka jawab Nabi: 'Sebutlah asma' Allah dan makanlah.'" (Riwayat Bukhari)

3. Rahasia Penyembelihan dan Hikmahnya
Rahasia penyembelihan, menurut yang kami ketahui, yaitu melepaskan nyawa binatang dengan jalan yang paling mudah, yang kiranya meringankan dan tidak menyakiti. Untuk itu maka disyaratkan alat yang dipakai harus tajam, supaya lebih cepat memberi pengaruh.

Di samping itu dipersyaratkan juga, bahwa penyembelihan itu harus dilakukan pada leher, karena tempat ini yang lebih dekat untuk memisahkan hidup binatang dan lebih mudah. Dan dilarang menyembelih binatang dengan menggunakan gigi dan kuku, karena penyembelihan dengan alat-alat tersebut dapat menyakiti binatang. Pada umumnya alat-alat tersebut hanya bersifat mencekik.
Nabi memerintahkan, supaya pisau yang dipakai itu tajam dan dengan cara yang sopan.
Sabda Nabi:
"Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat baik kepada sesuatu. Oleh karena itu jika kamu membunuh, maka perbaikilah cara membunuhnya, dan apabila kamu menyembelih maka perbaikilah cara menyembelihnya dan tajamkanlah pisaunya serta mudahkanlah penyembelihannya itu." (Riwayat Muslim)
Di antara bentuk kebaikan ialah seperti apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah memerintahkan supaya pisaunya itu yang tajam.
Sabda Nabi:
"Apabila salah seorang di antara kamu memotong (binatang), maka sempurnakanlah." (Riwayat Ibnu Majah)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa ada seorang yang membaringkan seekor kambing sambil ia mengasah pisaunya, maka kata Nabi:
"Apakah kamu akan membunuhnya, sesudah dia menjadi bangkai? Mengapa tidak kamu asah pisaumu itu sebelum binatang tersebut kamu baringkan?" (Riwayat Hakim)

Umar Ibnul-Khattab pernah juga melihat seorang laki-laki yang mengikat kaki seekor kambing dan diseretnya untuk disembelih, maka kata Umar: 'Sial kamu! Giringlah dia kepada mati dengan suatu cara yang baik.' (Riwayat Abdurrazzaq).
Begitulah kita dapati pemikiran secara umum dalam permasalahan ini, yaitu yang pada pokoknya harus menaruh belas-kasih kepada binatang dan meringankan dia dari segala penderitaan dengan segala cara yang mungkin.

Orang-orang jahiliah dahulu suka memotong kelasa unta (bhs Jawa, punuk) dan jembel kambing dalam keadaan hidup. Cara semacam itu adalah menyiksa binatang. Oleh karena itu Rasulullah s.a.w. kemudian menghalangi maksud mereka dan mengharamkan memanfaatkan binatang dengan cara semacam itu.

Maka kata Nabi:
"Daging yang dipotong dari binatang dalam keadaan hidup, berarti bangkai." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi dan Hakim)

4. Hikmah Menyebut Asma' Allah Waktu Menyembelih
Perintah untuk menyebut asma' Allah ketika menyembelih terkandung rahasia yang halus sekali, yang kiranya perlu untuk direnungkan dan diperhatikan:
1. Ditinjau dari segi perbedaannya dengan orang musyrik. Bahwa orang-orang musyrik dan orang-orang jahiliah selalu menyebut nama-nama tuhan dan berhala mereka ketika menyembelih. Kalau orang-orang musyrik berbuat demikian, mengapa orang mu'min tidak menyebut nama Tuhannya?
Segi kedua, yaitu bahwa binatang dan manusia sama-sama makhluk Allah yang hidup dan bernyawa. Oleh karena itu mengapa manusia akan mentang-mentang begitu saja mencabutnya binatang tersebut, tanpa minta izin kepada penciptanya yang juga mencipta seluruh isi bumi ini? Justru itu menyebut asma' Allah di sini merupakan suatu pemberitahuan izin Allah, yang seolah-olah manusia itu mengatakan: Aku berbuat ini bukan karena untuk memusuhi makhluk Allah, bukan pula untuk merendahkannya, tetapi adalah justru dengan nama Allah kami sembelih binatang itu dan dengan nama Allah juga kami berburu dan dengan namaNya juga kami makan.

5. Sembelihan Ahli Kitab
Kita tahu bagaimana Islam memperkeras persoalan penyembelihan dan menganggap penting persoalan ini. Hal ini adalah justru karena orang-orang musyrik Arab dan pengikut-pengikut agama lain telah menjadikan penyembelihan termasuk persoalan ibadah, bahkan masuk persoalan keyakinan dan pokok kepercayaan agama. Oleh karena itu menyembelih, mereka jadikan sebagai sesuatu cara untuk berbakti kepada tuhannya, maka disembelihnya binatang untuk berhala atau dengan menyebut nama tuhannya. Kemudian datanglah Islam menghapus cara-cara ini dan mewajibkan untuk tidak menyebut kecuali asma' Allah, serta mengharamkan binatang yang disembelih untuk berhala dan dengan menyebut nama berhala.

Kemudian setelah ahli kitab yang semula adalah bertauhid itu telah banyak dipengaruhi oleh perasaan-perasaan syirik dan samasekali tidak melepaskan dari kesyirikanriya yang dulu-dulu, sehingga sementara orang Islam menganggap, bahwa mereka tidak bisa lagi bergaul dan bertemu dengan mereka sebagaimana halnya terhadap orang-orang musyrik lainnya, maka Allah memberikan perkenan (rukhsah) kepada mereka untuk makan makanan ahli kitab sebagaimana halnya dalam persoalan-persoalan perkawinan. Hal ini ditegaskan Allah dalam firmanNya yang merupakan ayat terakhir, yaitu:
"Hari ini dihalalkan yang baik-baik buat kamu dan begitu juga makanan orang-orang yang pernah diberi kitab (ahli kitab) adalah halal buat kamu, dan sebaliknya makananmu halal buat mereka." (al-Maidah: 5)
Maksud ayat di atas secara ringkas: bahwa hari ini semua yang baik, halal buat kamu, karena itu tidak ada lagi apa yang disebut: Bahirah, saibah, washilah dan ham. Dan makanan ahli kitab pun halal buat kamu sesuai dengan hukum asal dimana samasekali Allah tidak mengharamkannya, dan sebaliknya makananmu pun halal buat mereka. Jadi kamu boleh makan binatang yang disembelih dan diburu oleh ahli kitab, dan sebaliknya kamu boleh memberi makan ahli kitab dengan binatang yang kamu sembelih atau yang kamu buru.

Islam bersifat keras terhadap orang musyrik tetapi terhadap ahli kitab sangat lunak dan mempermudah, karena mereka ini lebih dekat kepada orang mu'min, sebab sama-sama mengakui wahyu Allah, mengakui kenabian dan pokok-pokok agama secara global. Justru itu pula kita dianjurkan untuk menaruh mawaddah terhadap mereka, boleh makan makanan mereka, boleh kawin dengan perempuan-perempuan mereka dan bergaul dengan baik bersama mereka. Sebab kalau mereka itu sudah bergaul dengan kita dan memeluk Islam dengan penuh keyakinan dan kesadaran, mereka pun akan tahu bahwa agama kita itu justru agama mereka juga dalam pengertian yang lebih tinggi, lebih sempurna bentuk-bentuknya dan lebih bersih lembaran-lembarannya dari segala macam bid'ah, kebatilan dan persekutuan.

Perkataan makanan ahli kitab adalah suatu ungkapan yang bersifat umum, meliputi seluruh macam makanan: sembelihannya, biji-bijiannya dan sebagainya. Semua ini halal buat kita, selama barang-barang tersebut tidak termasuk kategori haram, karena zatnya seperti darah, bangkai dan daging babi. Semua ini tidak boleh kita makan dengan ijma' ulama, baik barang-barang tersebut makanan ahli kitab ataupun milik orang muslim. Sampai di sini selesailah pembicaraan kita tentang masalah binatang yang halal dan haram.

Masalah-Masalah Penyembelihan Yang Sangat Urgen

Sekarang tinggal yang perlu untuk diterangkan kepada orang-orang Islam beberapa masalah yang sangat urgen, yaitu:

1. Binatang yang Disembelih Untuk Gereja dan Hari-Hari Besar
A. Masalah pertama:
Apabila tidak terdengar suara dari ahli kitab itu sebutan nama selain Allah, misalnya: Nama al-Masih dan Uzair ketika menyembelih, maka makanannya tersebut tetap halal buat orang Islam. Tetapi kalau sampai terdengar suara penyebutan nama selain Allah, maka dari kalangan ahli fiqih ada yang mengharamkannya karena termasuk apa yang disebut uhilla lighairillah (yang disembelih bukan karena Allah). Tetapi sementara ada juga yang berpendapat halal.

Abu Darda' pernah ditanya tentang kambing yang disembelih untuk suatu gereja yang disebut jurjas, binatang itu mereka hadiahkan buat gereja tersebut, apakah boleh kita makan? Maka jawab Abu Darda': "Boleh." Sebab mereka itu adalah ahli kitab yang makanannya sudah jelas halal buat kita, dan sebaliknya makanan kita pun halal buat mereka. Kemudian dia suruh memakannya.6
Imam Malik pernah ditanya tentang sembelihan ahli kitab untuk hari-hari besar dan gereja mereka, maka kata Imam Malik: Aku memakruhkannya dan aku tidak menganggapnya haram.

Imam Malik memakruhkannya, karena termasuk dalam kategori wara' (berhati-hati supaya tidak jatuh ke dalam maksiat) karena kawatir kalau-kalau dia itu termasuk ke dalam apa yang disebut binatang yang disembelih bukan karena Allah. Dan ia tidak mengharamkan, karena arti dan maksud apa yang disembelih bukan karena Allah itu menurut pendapatnya, sepanjang yang dinisbatkan kepada ahli kitab, yaitu yang disembelih untuk bertaqarrub kepada Tuhan sedang mereka (ahli kitab) itu sendiri tidak memakannya. Dan apa yang disembelih dan dimakan adalah termasuk makanan mereka, sedang dalam hal ini Allah telah menegaskan: "Bahwa makanan ahli kitab itu halal buat kamu."

2. Sembelihan yang Dilakukan Oleh Ahli Kitab dengan Tenaga Listrik dan Sebagainya
B. Masalah kedua:
Apakah penyembelihan mereka itu dipersyaratkan seperti penyembelihan kita juga, yaitu dengan pisau yang tajam dan dilakukan pada leher binatang?
Kebanyakan para ulama berpendapat demikian. Tetapi menurut fatwa pengikut-pengikut madzhab Imam Malik, bahwa yang demikian itu tidak termasuk persyaratan.
Al-Qadhi Ibnu Arabi berkata ketika menafsiri ayat 5 surah al-Maidah itu sebagai berikut: Ini suatu dalil yang tegas, bahwa binatang buruan dan makanan ahli kitab itu adalah termasuk makan yang baik-baik (thayyibaat) yang telah dihalalkan Allah dengan mutlak. Allah mengulang-ulanginya itu hanyalah bermaksud untuk menghilangkan keragu-raguan pertentangan-pertentangan yang timbul dari perasaan-perasaan yang salah, yang memang sering menimbulkan suatu pertentangan dan memperpanjang omongan.

Saya pernah ditanya tentang seorang Kristen yang membelit leher ayam kemudian dimasaknya, apakah itu boleh dimakan atau diambil sebagian daripadanya sebagai makanan? Maka jawab saya: Boleh dimakan, karena dia itu termasuk makanannya dan makanan pendeta dan pastor, sekalipun ini menurut kita tidak termasuk penyembelihan, namun Allah telah menghalalkan makanan mereka itu secara mutlak. Makanan apapun yang dibenarkan oleh agama mereka berarti halal buat kita, kecuali yang memang oleh Allah telah didustakan.

Ulama-ulama kita pernah berkata: Mereka telah menyerahkan perempuan-perempuan mereka kepada kita untuk dikawin dan halal kita setubuhi, mengapa penyembelihannya tidak boleh kita makan, sedang makan tidak sama dengan setubuh, halal dan haramnya.
Demikian pendapat Ibnul-Arabi.

Kemudian di tempat lain ia berkata lagi: Mereka tidak makan yang bukan karena disembelih, misalnya dengan dicekik dan dipukul kepalanya (dengan tidak bermaksud menyembelih, karena itu binatang tersebut termasuk bangkai yang haram).
Kedua pendapat beliau ini tidak bertentangan, sebab yang dimaksud ialah: Apa yang mereka anggap sebagai penyembelihan, berarti halal buat kita sekalipun menurut kita sembelihannya itu tidak benar. Dan apa yang mereka anggap itu bukan sembelihan, tidaklah halal buat kita.

Dengan demikian, menurut mafhum musytarak apa yang disebut penyembelihan, yaitu bermaksud menyabung nyawa binatang dengan niat untuk halalnya memakan binatang tersebut.

Ini adalah pendapat ulama-ulama Malikiyah.
Dengan bercermin kepada apa yang telah kami sebutkan di atas, maka kita dapat mengetahui hukumnya daging-daging yang diimport dari negara-negara yang penduduknya majoritas ahli kitab, seperti ayam, corned sapi, yang semua itu kadang-kadang disembelih dengan menggunakan tenaga elektronik dan sebagainya. Selama binatang-binatang tersebut oleh mereka dianggapnya sebagai sembelihan, maka jelas halal buat kita, sesuai dengan umumnya ayat.

Adapun daging-daging yang diimport dari negara-negara Komunis, tidak boleh kita makan. Sebab mereka itu bukan ahli kitab, bahkan mereka adalah kufur dan anti kepada semua agama dan menentang Allah serta seluruh risalahnya.

3. Penyembelihan Orang Majusi dan Sebagainya
Para ulama berbeda pendapat tentang penyembelihan orang Majusi. Kebanyakan mereka berpendapat tidak boleh memakannya karena mereka termasuk orang musyrik.
Sedang yang lain berpendapat halal karena Nabi s.a.w. pernah bersabda:
"Perlakukanlah mereka itu seperti perlakuan terhadap ahli kitab." (Riwayat Malik dan Syafi'i)
Dan Nabi sendiri pernah menerima upeti dari Majusi Hajar. (Riwayat Bukhari).Oleh karena itu, Ibnu Hazim berkata di bab penyembelihan dalam kitabnya Muhalla: "Mereka itu adalah ahli kitab, oleh karena itu mereka dihukumi seperti hukum yang berlaku untuk ahli kitab dalam segala hal


KESIMPULAN

Kesimpulan dari pembahasan diatas, semua makanan baik yang didapatkan dari hewan ataupun dari tumbuhan, hukumnya relatif halal ataupun haram. Kecuali memang jenisnya haram. Semuanya tergantung dari hasil cara mendapatkannya/memperolehnya.
Berdasarkan pendapat para ulama’, bahwasanya makanan yang diharamkan oleh islam adalah makanan yang memang ditetapkan haram. Namun untuk makanan yang halal, itu bisa haram dan juga bisa halal, ssemuanya tergantung cara mendapatkannya dan cara proses (menyembelihnya).
Kadangkala makanan yang haram itu diperbolehkan, dengan alasan darurat, yang relevan dengan firman allah dalam al-qur’an, bahwasanya bila orang sudah ke;aparan atau darurat, maka diperbolehkan untuk memakannya selama tidak berbuat dosa.
Proses mengkonsumsi makanan yang halal di anjurkan untuk menyembelih dengan baik, dan menggunakan pisau yang tajam, dan pisaunya pas dileher, dan cara menyembelihnya harus menyebut nama allah swt, tidak boleh yang lain.itulah kedudukan makanan yang halal dan haram, yang semuanya tergantung pada cara mendapatkannya dan proses (menyembelihnya), kecuali memang ditetapkan jenisnya haram.


DAFTAR RUJUKAN


• Abdillah, Abu. Rahasia Menjadi Kekasih Allah dan Rasulnya, Ar-Ruzz media, Yogyakarta, 2007.
• www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1997/02/02/0008. Makanan halal dan haram menurut madzhab syafi’i. Feb 02 1997. diakses tanggal 06-12-2009.
• Didikhaianto bec4lm.wordpress.com/2009/05/03/katak-halal-atau-haram/ Januari 1, 2007. diakses tanggal 06 Desember 2009.
• Departemen Agama. Al-Qur’an Dan Terjemahan, Diponegoro. Bandung: hal 85.
• Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahan, Karya Agung, Surabaya: hal 381.
• Haianto, Didik bec4lm.wordpress.com/2009/05/03/katak-halal-atau-haram/ Januari 1, 2007. diakses tanggal 06 Desember 2009.
• Al-Fauzan, Saleh. Fiqih Sehari-Hari,Gema Insani, Jakarta 2006: hal 883.
• Qardhawi, Yusuf. html - Tembolok - Mirip media.isnet.org/. islam/Qardhawi/Halal/201172. diakses tanggal 06-12-2009.

Tidak ada komentar: